Selasa, 30 April 2013

LARANGAN EKSTREMISME DAN PENGKAFIRAN



Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memuji, meminta pertolongan, dan meminta ampunan-Nya. Kami memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan amal-amal kami. Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwasanya Muhammad utusan dan Rasulnya. Beliau sebaik-baik manusia dan imam orang-orang yang bertakwa.
Tidak ada musibah yang besar yang menimpa umat Islam seperti musibah suka mengafirkan yang bersarang di akal sebagian kelompok Muslim. Mereka mengafirkan sesame kaum muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Dari sana mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin tanpa bukti yang jelas, argumen agama yang kuat, atau rujukan pendapat dari para ulama salaf. Dalam waktu yang sama mereka bukanlah orang-orang yang ahli di bidang agama. Sesungguhnya yang ahli di bidang agama hanyalah para ulama tepercaya yang bersenjatakan ilmu dan terlepas dari hawa nafsu.
Dalam hal ini kita mendapatkan mukjizat Nabi Saw yang mengherankan akal, memuaskan jiwa, dan menepis awan kesamaran. Suatu ketika seseorang melakukan protes kepada Nabi Saw dalam masalah pembagian rampasan perang yang dilakukan beliau. Ia berkata, “Bersikap adillah wahai Muhammad, sesungguhnya kamu tidak bersikap adil.” Rasulullah Saw menjawab, “Celaka kamu, jika aku tidak adil, siapa lagi yang adil?” Umar bin Khathab Ra berkata, “Bukankah engkau akan membunuhnya?” Beliau bersabda, “Tidak, biarkanlah dia. Sesungguhnya dia akan memiliki kelompok yang bersikap ekstrem dalam agama hingga mereka terlepas darinya laksana anak panah yang terlepas dari busurnya.”[1]
Seolah Nabi Saw melihat fitnah-fitnah dan musibah-musibah yang akan terjadi dalam umat beliau. Seolah beliau melihat masa depan umat ini dengan bantuan cahaya Allah dan memperingatkan mereka dari apa yang akan terjadi tersebut.
Apa yang disabdakan Rasul Saw tadi terbukti. Beberapa tahun setelah beliau meninggal, muncullah kelompok Khawarij yang sifat-sifatnya pernah beliau sebutkan. Beliau menyifati mereka,
يَدَعُوْنَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ وَيَقْتُلُوْنَ أَهْلَ الْإِسْلاَمِ.
“Mereka membiarkan para penyembah berhala dan membunuh orang-orang Islam.”
Beliau juga menyifati mereka,
يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يَكَادُ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ.
“Mereka membaca Al-Quran, tetapi tidak melewati tenggorokan mereka (tidak meresapi makna-maknanya).”
Beliau menyifati mereka,
تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَأَعْمَالَكُمْ مَعَ أَعْمَالِهِمْ.
“Kalian menganggap remeh shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka dan amal kalian dibandingkan dengan amal mereka.”
Beliau menyifati mereka,
يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.
“Mereka terlepas dari agama seperti anak panah terlepas dari busurnya.”[2]
Beliau menyifati mereka,
يَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ.
“Di akhir zaman akan muncul suatu kaum yang muda umurnya dan pendek akalnya, mereka mengatakan dengan ucapan sebaik-baik manusia (Hadis Nabi Saw).”
Benarlah apa yang telah engkau sabdakan, wahai Rasul. Engkau telah menyampaikan dengan sempurna, menasihati kami dengan nasihat yang paling baik berkaitan dengan mereka, dan engkau memperingatkan kami dari mereka agar kami tidak tertipu dengan banyaknya ibadah shalat, puasa dan lainnya yang mereka lakukan.
Engkau telah menjelaskan kepada kami bahwa kerusakan pemikiran dan akidah merusakkan segala sesuatu dan bahwa kerusakan akidah lebih berbahaya daripada segala sesuatu, keselamatan akidah lebih penting daripada segala sesuatu dan bahwa orang yang mendapat hidayah untuk memegang akidah Ahlussunnah wal-Jamaah, telah mendapat petunjuk untuk meraih kebaikan yang agung.
Benarlah apa yang engkau sabdakan, wahai Rasulullah. Kami telah melihat semua yang engkau peringatkan. Benarlah engkau memperingatkan kaum muslimin dari mengkafirkan sesama saudara muslim. Engkau bersabda,
وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِناً بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَاتِلِهِ.
“Barangsiapa menuduh orang mukmin dengan tuduhan kafir, maka dia seperti orang yang membunuhnya.”[3]
Adakah peringatan yang lebih keras daripada ini? Rasulullah Saw telah menganggap tuduhan kafir terhadap muslim tanpa ada bukti dan keadilan laksana membunuh orang yang dituduh itu. Hal ini karena menuduh muslim dengan tuduhan kafir, padahal orang yang dituduh lepas dari agamanya atau kafir, merupakan pembunuhan karakter secara psikologis. Tuduhan kafir ini menimpakan aib terhadap keluarga dan masyarakat ang bersangkutan. Permasalahannya bertambah parah ketika tuduhan kafir disusul dengan perbuatan anarkis. Tuduhan dengan kata disusul tuduhan dengan peluru-peluru tembakan. Barangsiapa yang telah mengkafirkan orang lain, maka ia telah menghalalkan darah dan hartanya. Dengan ini ia menjadi siap untuk membunuhnya atau merampas hartanya. Demikianlah setiap maksiat disusul dengan maksiat lain. Setiap dosa disusul dengan dosa lain. Semua itu menimbulkan kekacauan dalam umat, merobek-robek barisannya, mencerai-beraikan urusannya dan menjadikannya sasaran empuk bagi musuh-musuh Islam.
Karena dampak-dampak yang buruk dari pengkafiran tersebut, Rasulullah Saw bersabda,
 “Barangsiapa yang berkata kepada sesama saudaranya, ‘Wahai orang kafir,’ maka tuduhan ini kembali kepada salah satunya. Jika apa yang dikatakan benar, tidak apa-apa; dan jika yang dikatakan tidak benar, tuduhan itu kembali kepada dirinya.”[4]
Hal ini demi menutup rapat-rapat pintu kekacauan dan agar mengatakan kepada setiap muslim, “Jika kamu mengkafirkan muslim tanpa dasar, tuduhan ini kembali kepada dirimu, kamu akan merasakan gelas pahit yang kamu berikan kepada sauaramu, dan kamu akan terjatuh ke dalam lubang sumur yang kamu gali untuk saudaramu.”
Fenomena pengkafiran pernah muncul di Mesir pada tahun 60-an di penjara perang. Di antara sebab-sebabnya yang paling penting adalah kerasnya penyiksaan yang menimpa kelompok Ikhwanul Muslim di penjara tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi sebagian mereka yang sepertinya tampak logis sesuai dengan kondisi kejiwaan dan pikiran mereka.
Pertanyaan pertama, ada apa dengan semua penyiksaan ini? Kenapa kami (Ikhwanul Muslimin) disiksa dengan cara yang kejam seperti ini? Kejahatan apakah yang kami lakukan?
Mereka menjawab sendiri pertanyaan itu, “Sesungguhnya satu-satunya kejahatan kami adalah kami mengimani Allah sebagai Tuhan, Al-Quran sebagai undang-undang dan Islam sebagai jalan hidup.”
Pertanyaan kedua, “Mereka yang menyiksa kami dan mencela kami, apakah mereka muslim? Bagaimana mereka dianggap muslim, sementara pemimpin mereka dalam suatu hari mengatakan, “Datangkan Tuhan kalian dan aku akan menjatuhkannya ke dalam sampah!”
Sudah tentu, jawaban atas pertanyaan ini adalah mereka kafir!
Pertanyaan mereka ketiga, “Jika mereka kafir, bagaimana hukum para pemimpin mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan dan di tangan mereka kekuasaan perintah dan larangan?” Mereka cepat memberikan jawaban, “Mereka pasti kafir.”
Setelah mereka puas dengan hasil ini, mereka beralih ke pertanyaan keempat, “Rakyat yang menaati para pejabat itu dan tunduk kepada mereka, bagaimana hukum mereka?” Jawaban mereka sudah siap, yaitu, “Sesungguhnya rakyat yang rela dengan kafirnya para pejabat itu dan mengakuinya, mereka juga kafir. Barangsiapa yang rela dengan kekafiaran, ia telah kafir.”
Dari sini, menyebarlah gelombang pengkafiran terhadap masyarakat secara menyeluruh. Kelompok-kelompok masyarakat menjadi terbelah laksana bom yang membelah. Setiap satu kelompok yang berselisih dengan kelompok yang lain dalam suatu masalah, meskipun dalam masalah ilmu hukum Islam, mereka saling mengkafirkan. Kemudian fenomena saling mengkafirkan menjadi sesuatu yang menyebar di antara sesama muslim. Terkadang turun dan terkadang naik seperti gelombang. Setiap kebebasan dakwah yang benar surut, menyebarlah pengkafiran dan setiap dakwah yang benar naik, turunlah gelombang pengkafiran.
Kami menyampaikan sejarah tadi untuk menjelaskan akar masalah pengkafiran. Seharusnya mereka menggunakan ayat yang paling agung tentang keadilan, meskipun terhadap orang yang tidak kita sukai. Allah Swt berfirman,
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Mâ`idah [5]: 8).
Akan tetapi, kondisi kejiwaan manusia yang sedang ada dalam penjara membuat banyak orang tidak mampu menggunakan ayat tadi karena menggunakannya membutuhkan kesabaran yang besar. Bagaimana hal ini mungkin dilakukan orang yang mengkafirkan orang yang berbuat buruk terhadapnya demi memuaskan hatinya dan demi mengalahkan musuhnya meskipun dengan kata-kata.
Akan tetapi, karena penyakit pengkafiran merupakan bentuk ghuluw (ekstremitas) dalam beragama, bahkan dia merupakan bentuk yang paling mengerikan berdasarkan sabda Rasulullah Saw tentang Dzul Khuwaishirah,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِيِء هَذَا قَوْماً يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ الْإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الْإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْم مِنَ الرَّمِيَّةِ لئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ.
“Sesungguhnya dari asal orang ini akan muncul suatu kaum yang membaca Al-Quran, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka terlepas dari Islam seperti anak panah terlepas dari busurnya. Sungguh jika aku menemukan mereka, aku akan membunuh mereka seperti pembunuhan kaum Ad.”[5]
Oleh karena itulah, kami tidak membahas sikap ekstremitas dalam agama secara umum. Kami akan membahas sebagian sebab-sebab ekstremitas dalam agama, kemudian kami membahas fenomena-fenomenanya. Hal ini agar sebagian orang tidak mempunyai pemahaman bahwa agama tersia-sia dengan sikap yang berlebihan saja. Kami menulisnya sebagai pengantar untuk membantah kebiasaan pengkafiran terhadap kaum muslimin sebab maksiat, kemudian membantah pengkafiran terhadap orang-orang bodoh. Kami juga membahas sikap ekstremitas dalam mengkafirkan kaum muslimin sebab menjalin hubungan baik secara lahir dengan orang kafir. Begitu juga mengkafirkan kaum muslimin yang menjadi pegawai di pemerintahan hanya karena mereka pegawai pemerintah. Kemudian kami membahas hubungan kesetiaan yang dilarang dan hubungan kesetiaan yang diperbolehkan, karena dalam masalah ini banyak orang yang mengalami kesalahan.
Dalam studi ini kami berusaha untuk menetapkan akidah Ahlussunah wal-Jamaah dengan didukung dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah serta pendapat para ulama salaf. Kami memohon kepada Allah agar menerima usaha kami ini dan mengampuni kekeliruan di dalamnya. Jika ada kebaikan dan kebenaran di dalamnya, itu dari Allah semata dan jika ada cacat dan kesalahan, itu dari diri kami. Kami memohon perlindungan kepada Allah kejahatan diri kami.
"Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah [2]: 127).



[1] HR. Bukhari, nomor 3414 dan Muslim, nomor 1064.
[2] HR. Bukhari, nomor 6531 dan Muslim, nomor 1066.
[3] HR. Tirmidzi, nomor 2636 dari Tsabit bin Dhahhak. Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Albani.
[4] HR. Bukhari, nomor 5753 dan Muslim, nomor 60 dari Abdullah bin Umar Ra.
[5] HR. Bukhari, nomor 3344 dan Muslim, nomor 1064 dari Abu Said Al-Khudri Ra.

Senin, 29 April 2013

DILEMA TERORISME DI DUNIA PENDIDIKAN ISLAM

                 

                Aksi-aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia  tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerusakan sarana fisik, tetapi juga rusaknya citra bangsa dan umat Islam Indonesia. Mereka yang tidak menyukai Islam semakin keras  meyuarakan kebencian dan stigmatisasi bahwa Islam adalah agama teroris. Lebih dari itu, mereka yang tidak memahami Islam di Indonesia dengan mudah menuduh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren dan madrasah  sebagai sarang teroris.

                   Para pengamat barat menuding bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia digerakan oleh jaringan terorisme al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) yang basisnya berada di pesantren tertentu di Indonesia. Beberapa pelaku yang terbukti terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam aksi-aksi terorisme memang pernah belajar di pesantren tertentu. Dengan dalih itulah, muncul kesimpulan yang biasa, bahwa pesantren adalah sarang teroris. Pernyataan bahwa pesantren adalah sarang teroris jelas menunjukan kurangnya pemahaman tentang Islam Indonesia dan lebih jauh lagi meluka perasaan seluruh umat Islam terutama kalangan pesantren.

                                           Kekeliruan anggapan tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, secara kelembagaan pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang berada di bawah pengawasan dan pembinaan Departemen Agama. Pesantren dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini sangat mendukung tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Persis, PUI, dan lain-lain.

                                           Kedua, Kurikulum dan kitab-kitab yang diajarkan di pesantren berisi materi keagamaan yang menekankan ketaatan beribadah, muamalah dan akhlak alkarimah. Di dalam pesantren memang diajarkan tentang jihad sebagai bagian dari kajian kitab-kitab Fiqh. Pengajaran materi jihad tiada lain karena jihad merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Pembelajaran tentang jihad, senantiasa disandingkan dengan konsep lain yang mempunyai keterkaitan dengannya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Jadi, jihad  yang dimaksudkan adalah bagaimana seorang santri secara sungguh-sungguh mau berjuang di jalan Allah agar menemukan kebenaran dan kebahagiaan.

                                           Ketiga, adanya beberapa pelaku teroris yang pernah belajar di pesantren tidak berarti pesantren mengajarkan terorisme. Tidak sedikit founding fathers ( pendiri negara) Indonesia adalah alumni pesantren. Mereka adalah mutjahid (pemikir) dan mujahid (pejuang) yang ditempa dalam pendidikan pesantren. Dengan logika sederhana, misalnya, ketika ada seorang penjahat alumni sekolah atau universitas , tidak berarti lembaga pendidikan tersebut mendidik siswa atau mahasiswanya menjadi penjahat.

                                           Karena itu, adanya beberapa alumni pesantren yang terlibat dalam aksi terorisme tidak berarti sama sekali bahwa pesantren adalah sarang  teroris. Penelitian membuktikan bahwa para pelaku teroris justru belajar merakit bom dan menjadi ekstrimis setelah mereka tidak lagi belajar di pesantren. Mereka menjadi teroris karena berbagai macam pengalaman hidup, Ketidakadilan hukum, kemiskinan dan tekanan politik. Faktor psikologis, sosiologis, ekonomi dan politik  inilah yang sering kali tidak atau kurang disinggung sebagai sebab tindakan terorisme.

                                           Maka, untuk memburu teroris dan memberantas terorisme di zaman seperti ini, penyelesaian masalah secara kompherensif haruslah dilakukan secara arif, teliti, dan cerdas. Stigmanisasi terhadap umat islam pasca peristiwa 11 September 2001 yang menjadikannya sebagai tertuduh, bagi sebagian umat Islam yang lain tentu semakin membangkitkan gejala perlawanan terhadap semua tindakan dan kaki tangan barat. Begitu juga dengan gejala terorisme Negara yang ditunjukan oleh Amerika dan Israel terhadap bangsa Palestina, Libanon, Irak, dan Afghanistan tentu semakin mengobarkan api peperangan bagi mereka yang sudah mempunyai potensi melawan barat. Oleh karenanya, pemberantasan teror hendaknya dilakukan dengan metode yang bersifat komprehensif, edukatif, dan jauh dari diskrriminasi dan kekerasan. Jangan sampai pesantren menjadi korban dari tindakan yang kurang memahami akar masalah terorisme.

-----
                   Dari uraian di atas dapat disimpulkan: Pertama, jihad tidak selamanya berarti perang, karena di dalam Islam jihad dapat berbentuk haji mabrur, keberanian menyampaikan kebenaran  terhadap penguasa yang zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan kepedulian, sosial. Kedua, obyek jihad adalah orang kafir yang memusuhi Islam, orang munafiq, hawa nafsu, kezaliman, kemunkaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Ketiga, jihad adalah salah satu azas iman,amal utama dan puncak amaliah tertinggi. Keempat, termasuk jihad adalah semua upaya sungguh-sungguh memperbaiki dan kualitas kehidupan muslim baik kualitas iman maupun kesejahteraan. Kelima, Indonesia bukan wilayah dar al-harb melainkan Negara damai dan Negara dalam perjanjian karena umat Islam memiliki kesempatan dan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya.