Selasa, 09 April 2013

AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR




Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari. Upaya peningkatan kesejahteraan itu ditempuh dengan berbagai cara kreatif, dengan kompetisi ketat, bahkan adakalanya dengan cara-cara yang tidak sejalan dengan aturan yang ada atau yang telah disepakati diterima sebagai kebaikan. Tidak sedikit aktivitas yang dilakukan seseorang ternyata mengganggu dan merugikan orang lain. Supaya ketertiban masyarakat berjalan dengan baik dan terpeliharanya hak-hak anggota masyarakat serta menghindari berbagai malapetaka kehidupan, maka diperlukan ada orang atau sekelompok orang yang selalu mengingatkan pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang tidak baik. Aktivitas ini diperkenalkan oleh al-Qur'an sebagai “amar makruf nahi munkar” atau aktivitas mengajak atau menyuruh kepada kebaikan dan mencegah untuk melakukan kemungkaran.

Perintah Beramar Makruf Nahi Munkar
Ayat-ayat al-Qur'an yang secara eksplisit menggunakan istilah “amar makruf nahi munkar” ditemukan dalam beberapa tempat: QS. Ali Imran [3]: 104, 110, ll4; al-A'raf [7]: 157; at-Taubah [9]: 71, 112; al-Hajj [22]: 41; Luqman [31]: 17. Salah satu dari ayat itu yang dengan tegas memerintahkan untuk melakukan amar makruf nahi munkar adalah QS. Ali 'Imran [3]: 104. Sebagai berikut:




“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, rnenyuruh (berhuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” QS. Ali 'Imran [3]: 104)
Sebagian ulama tafsir memahami status perintah rnenyuruh berbuat baik dan mencegah herbuat buruk (beramar makruf dan nahi munkar) adalah fardhu kifayah (wajib sosial). Preposisi 'min' pada ayat tersebut menunjukkan arti sebagian (li at-tab'idli), yakni sebagian dari setiap komunitas harus rnelakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Mengapa tidak seluruhnya? Karena, seperti dijeiaskan az-Zamakhsyari, seseorang yang akan melakuKan aktivitas itu harus tahu yang mana makruf dan yang mana munkar, aan dia harus tahu prioritas-prioritas. Kalau tidak, jangan-jangan terbalik dengan rnenyuruh yang munkar dan mencegah yang makruf, bersikap tegas pada yang seharusnya lembut atau sebaliknya, atau wawasannya sangat terbatas lalu mencegah hal-hal yang sebenarnya bukan munkar karena hanya tak mengetahui perspektif pihak lain.[1]
Sementara itu ada juga yang memahami preposisi 'min' di situ sebagai penjelas (li at-tabyin) sehingga berimplikasi pada kewajiban setiap individu mukallaf rnelakukan amar makruf nahi munkar menurut kadar kemampuannya, baik dengan tangan (kekuasaan), perkataan (nasihat), maupun sekadar dalam hati.[2] Hal ini dipahami dari QS. Ali 'Imran [3]: 110 dan sebuah Hadits riwayat Muslim sebagai berikut:

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) rnenyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. “

“Siapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah mengubahnya (menghentikannya) dengan tangan (kekuasaan) yang dia miliki. Kalau tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau tidak mampu juga maka dengan hatinya- svtforBan yang demikian itu termasuk selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Pelaksanaan taghyir al-munkar (pencegahan atau pengubahan kemungkaran) disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki tiap individu. Dalam Hadits di atas disebutkan beberapa alternatif yang bersifat prioritas. Dengan tangan apabila memiliki kemampuan untuk itu, atau kalau tak sanggup, maka dengan ucapan atau teguran lisan, dan apabila yang kedua ini juga tidak mampu dilakukan maka cukup dengan pernyataan ketidaksukaannya di dalarn hati. Mendiamkan, dalam arti 'cuek sama sekali' (bersikap permisif) bahkan mungkin memberi dukungan tentu bukan sikap orang beriman. Ibrahim al-Matbuli, sebagaimana dikutip Muhammad Ali al-Bakri, menjelaskan bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan adalah tugas para penguasa dan jajarannya. Sedangkan dengan teguran (ucapan) meiupakan tugas para ulama, dan dengan hati adalah mereka yang memiliki nurani.[3] Hal ini akan dibahas lebih lanjut setelah penjelasan tentang berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam beram ir makruf dan nahi munkar.

Realitas dalam Masyarakat
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk baik, ia diciptakan dalam keadaan sempurna, serba seimbang, memiliki akal dan nafsu sekaligus yang tak dimiliki oleh makhluk lain. Tapi, kemudian ada yang tak memfungsikan akalnya sehingga yang menguasai dirinya adalah nafsu, menyebabkan martabatnya meluncur ke bawah garis hewan melata. Orang-orang seperti ini selalu kita jumpai di lingkungan atau di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kejahatan dan kemungkaran sudah ada seumur dengan manusia itu sendiri. Sponsor utamanya adalah lblis. Karena sponsor utama ini memang mendapat legalisasi untuk menggoda (bukan memaksa) anak cucu Adam untuk mengerjakan kejahatan dan kemungkaran dari berbagai sisi maka kejahatan dan kemungkaran tetap akan ada.v Legalisasi itu misalnya kita jumpai dalam Surah al-A'raf [7]: 16-17:

“(lblis) berkata, 'Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka (manusia) darijalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Pernyataan di akhir ayat itu (“... dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”) menunjukkan bahwa tidak sedikit di antara manusia yang terbawa oleh godaan lblis dan kawan-kawannya. Hanya mereka yang konsisten dalam keikhlasannya menjalankan perintah sesuai petunjuk Allah sajalah yang tidak rentan terhadap godaan-Lblis dan kawan-kawannya untuk berbuat jahat. Surah Shad [38]: 82-83 menjelaskan hal tersebut:

“(lblis) rnenjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.”
Dalam catatan kaki Al-Qur'an dan Terjemahnya yang disusun oleh Tim Departemen Agama, 'al-mukhlashin' diberi makna orang-orang yang telah diberi taufik untuk menaati segala petunjuk dan perintah Allah.[4] Sebaliknya, orang-orang yang tidak konsisten dalam Kata 'makruf terambil dari kata 'arafa yang berarti mengenal, mengetahui, memahami. Bentukan kata makruf bermakna sesuatu yang telah dikenal baik oleh masyarakat. Kata 'urf yang dikenal dalam terminologi hukum bermakna budaya yang telah diterima oleh masyarakat luas sebagai memiliki nilai kebaikan. Menolong, menghargai, bersikap adil, jujur, bersahabat, adalah contoh-contoh makruf yang telah menjadi budaya universal masyarakat beradab dan diterima sebagai nilai-nilai luhur kehidupan.
Menurut al-Jurjani, yang disebut makruf adalah semua yang baik menurut syara'.[1] Sesuatu yang baik menurut syara' disebut makruf karena jiwa akan merasa tenteram padanya.[2] Semua yang diperintahkan oleh agama, baik perintah tegas (wajib) maupun anjuran (sunnah) membawa kebaikan pada pelaku dan lingkungannya. Pribadi norma1 jika melakukan suatu kebaikan akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika melakukan keburukan akan menimbulkan waswas, penyesalan, dan ketidaktenangan dalam batin orang itu. Rasulullah pernah bersabda,
"Kebaikan itu adalah berakhlak baik, sementara perbuatan dosa adalah apa saja yang menyebabkan waswas di dalam batinmu dan engkau merasa khawatir jika diketahui orang lain.”[3]
Lawan kata dari makruf adalah munkar, yaitu sesuatu yang diingkari atau tak dikenal baik dalam masyarakat. Dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat kata ingkar dan mungkar yang merupakan serapan dari bahasa Arab. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-'Arab memberi penjelasan tentang term ini:
……………………………………………………………………………………………………………[4]
"Kata inkar dan munkar merupakan antonim dari makruf, yaitu semua yang dianggap buruk, haram, dan tercela oleh syara".
Seperti halnya istilah makruf, istilah munkar pun harus dikembalikan pada standar agama. Sebuah perbuatan disebut munkar apabila menurut agama (syara') hal itu haram atau tercela. Dengan demikian harus dapat dipastikan bahwa seseorang yang akan melakukan nahi munkar harus benar-benar mengetahui dan mampu mengklasifikasi perbuatan mana yang termasuk makruf dan yang mana tergolong munkar menurut informasi al-Qur'an dan as-Sunnah. Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kategori makruf dan munkar menurut kedua sumber itu maka tentu tidak berkewajiban melakukan amar makruf nahi munkar.
Rangkaian aktivitas amar makruf dan nahi munkar mengandung dua aktivitas berbeda. Yang pertama, amar makruf, yaitu ajakan atau perintah melakukan kebaikan, baik yang berwujud sikap, ucapan, maupun perbuatan nyata. Sedangkan yang kedua, nahi munkar, yaitu upaya pencegahan atau perubahan terhadap kemungkaran. Kedua aktivitas ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, prioritas pertama adalah melakukan nahi munkar, karena mencegah atau mengubah kemungkaran itu lebih utama daripada menganjurkan kebaikan.
Di dalam masyarakat harus ada kesadaran bersama untuk senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Salah satu superioritas umat Islam sehingga disebut sebagai "khaira ummah" adalah aktivitasnya beramar makruf dan nahi munkar yang didorong oleh iman kepada Allah yang kuat, sebagaimana dapat dipahami dari feurah Ali 'Imran [3]: 110. Mengapa? Karena, kalau tidak ada orang yang selalu mengingatkan beramar makruf nahi munkar, maka boleh jadi yang makruf menjadi munkar, atau sebaliknya, yang munkar menjadi makruf. Hal-hal yang makruf kalau terus ditinggalkan oleh masyarakat sangat boleh jadi menjadi munkar sehingga tidak lagi dikenal sebagai suatu kebaikan. Sikap tolong-menolong yang kental di masyarakat pedesaan menjadi sesuatu yang 'tak dikenal' oleh masyarakat di kota besar yang lebih individualistik. Atau, hal-hal munkar yang dilazimkan oleh masyarakat mungkin akan berubah menjadi makruf. Sudah tidak diketahui sejak kapan dimulai kebolehan mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohon di kebun orang lain. Meskipun diketahui buah itu milik orang yang punya kebun ketika jatuh dari pohon boleh diambil oleh siapa saja (telah menjadi 'makruf). Ibn al-Muqaffa', sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa:
…………………………………………………………………………………………………………….[5]
"Apabila makruf sudah kurang diamalkan, maka ia menjadi munkar, danjika munkar telah menyebar maka ia menjadi makruf. "

  


26 Az-Zamakhsyari, Abu Al-Qasim Mahmud ibn 'Amr ibn Ahmad, al-Kasysyaf, Juz 1, h. 307.
[2] Al-Khazin, Abu al-Hasan 'Alauddin Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn 'Umar asy-Syaihi, Lubab at-Ta'wil fi Ma'ani . t-Tanztt, Juz 1, h. 434.

[3] Muhammad Ali ibn Muhammad Shiddiqi, Dalil al-FaUhin li Thuruq Riyadh ash- Shalihin, Juz 2, h. 162.

[4] Al-Qur'an dan Terjemahnya, catatan kaki 755.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar