Manusia adalah makhluk sosial
yang senantiasa berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dari hari ke hari.
Upaya peningkatan kesejahteraan itu ditempuh dengan berbagai cara kreatif,
dengan kompetisi ketat, bahkan adakalanya dengan cara-cara yang tidak sejalan
dengan aturan yang ada atau yang telah disepakati diterima sebagai kebaikan.
Tidak sedikit aktivitas yang dilakukan seseorang ternyata mengganggu dan
merugikan orang lain. Supaya ketertiban masyarakat berjalan dengan baik dan
terpeliharanya hak-hak anggota masyarakat serta menghindari berbagai malapetaka
kehidupan, maka diperlukan ada orang atau sekelompok orang yang selalu
mengingatkan pada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang tidak baik.
Aktivitas ini diperkenalkan oleh al-Qur'an sebagai “amar makruf nahi munkar”
atau aktivitas mengajak atau menyuruh kepada kebaikan dan mencegah untuk
melakukan kemungkaran.
Perintah Beramar Makruf
Nahi Munkar
Ayat-ayat
al-Qur'an yang secara eksplisit menggunakan istilah “amar makruf nahi munkar”
ditemukan dalam beberapa tempat: QS. Ali Imran [3]: 104, 110, ll4;
al-A'raf [7]: 157; at-Taubah [9]: 71, 112; al-Hajj [22]: 41; Luqman [31]: 17. Salah satu dari ayat itu yang
dengan tegas memerintahkan untuk melakukan amar makruf nahi
munkar adalah QS. Ali 'Imran [3]: 104.
Sebagai berikut:
“Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
rnenyuruh (berhuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.” QS. Ali 'Imran [3]: 104)
Sebagian ulama tafsir memahami status perintah rnenyuruh
berbuat baik dan mencegah herbuat buruk (beramar makruf dan nahi
munkar) adalah fardhu kifayah (wajib sosial). Preposisi 'min' pada ayat tersebut menunjukkan arti sebagian (li at-tab'idli), yakni sebagian
dari setiap komunitas harus rnelakukan aktivitas amar makruf nahi
munkar. Mengapa tidak seluruhnya? Karena, seperti dijeiaskan az-Zamakhsyari, seseorang yang akan melakuKan aktivitas itu harus tahu yang mana makruf dan yang mana munkar, aan dia harus tahu
prioritas-prioritas. Kalau tidak, jangan-jangan terbalik dengan
rnenyuruh yang munkar dan mencegah yang makruf, bersikap tegas pada yang seharusnya lembut atau sebaliknya, atau wawasannya
sangat terbatas lalu mencegah hal-hal yang sebenarnya bukan
munkar karena hanya tak mengetahui perspektif pihak lain.[1]
Sementara itu ada juga yang memahami preposisi 'min' di situ
sebagai penjelas (li at-tabyin) sehingga berimplikasi pada kewajiban
setiap individu mukallaf rnelakukan amar makruf nahi munkar
menurut kadar kemampuannya, baik dengan tangan (kekuasaan),
perkataan (nasihat), maupun sekadar dalam hati.[2] Hal ini dipahami
dari QS. Ali 'Imran [3]: 110 dan sebuah Hadits riwayat Muslim
sebagai berikut:
“Kamu (umat Islam) adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) rnenyuruh (berbuat)
yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada
yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. “
“Siapa diantara kamu melihat
kemungkaran maka hendaklah mengubahnya (menghentikannya) dengan tangan
(kekuasaan) yang dia miliki. Kalau tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau
tidak mampu juga maka dengan hatinya- svtforBan yang demikian itu termasuk
selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Pelaksanaan taghyir al-munkar (pencegahan atau pengubahan
kemungkaran)
disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki
tiap individu. Dalam Hadits di atas disebutkan beberapa alternatif
yang bersifat prioritas. Dengan tangan apabila memiliki kemampuan
untuk itu, atau kalau tak sanggup, maka dengan ucapan atau teguran lisan, dan apabila
yang kedua ini juga tidak mampu dilakukan maka cukup dengan pernyataan
ketidaksukaannya di dalarn hati. Mendiamkan, dalam arti 'cuek sama sekali'
(bersikap permisif) bahkan mungkin memberi dukungan tentu bukan sikap orang
beriman. Ibrahim al-Matbuli, sebagaimana dikutip Muhammad Ali al-Bakri,
menjelaskan bahwa mengubah kemungkaran dengan tangan adalah tugas para penguasa
dan jajarannya. Sedangkan dengan teguran (ucapan) meiupakan tugas para ulama,
dan dengan hati adalah mereka yang memiliki nurani.[3] Hal ini akan dibahas lebih
lanjut setelah penjelasan tentang berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam beram ir
makruf dan
nahi munkar.
Realitas dalam Masyarakat
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk baik, ia
diciptakan dalam keadaan sempurna, serba seimbang, memiliki akal dan nafsu
sekaligus yang tak dimiliki oleh makhluk lain.
Tapi,
kemudian ada yang tak memfungsikan akalnya sehingga yang
menguasai
dirinya adalah nafsu, menyebabkan martabatnya meluncur ke bawah garis hewan
melata. Orang-orang seperti ini selalu kita jumpai di lingkungan atau di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kejahatan dan kemungkaran sudah ada seumur
dengan manusia itu sendiri. Sponsor utamanya adalah lblis. Karena sponsor utama
ini memang mendapat legalisasi untuk menggoda (bukan memaksa) anak cucu Adam
untuk mengerjakan kejahatan dan kemungkaran dari berbagai sisi maka kejahatan
dan kemungkaran tetap akan ada.v Legalisasi itu misalnya kita jumpai
dalam Surah al-A'raf [7]: 16-17:
“(lblis) berkata, 'Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan
selalu menghalangi mereka (manusia) darijalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku
akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri
mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”
Pernyataan di akhir ayat itu (“... dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”) menunjukkan bahwa tidak
sedikit di antara manusia yang terbawa oleh godaan lblis dan kawan-kawannya.
Hanya mereka yang konsisten dalam keikhlasannya menjalankan perintah sesuai
petunjuk Allah sajalah yang tidak rentan terhadap
godaan-Lblis dan kawan-kawannya untuk berbuat jahat. Surah Shad [38]: 82-83 menjelaskan
hal tersebut:
“(lblis) rnenjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara
mereka.”
Dalam catatan kaki Al-Qur'an dan Terjemahnya yang disusun oleh
Tim Departemen Agama, 'al-mukhlashin' diberi makna orang-orang yang telah diberi taufik untuk menaati segala
petunjuk dan perintah Allah.[4] Sebaliknya, orang-orang yang tidak konsisten dalam Kata 'makruf terambil dari kata 'arafa yang berarti
mengenal, mengetahui, memahami. Bentukan kata makruf bermakna sesuatu yang
telah dikenal baik oleh masyarakat. Kata 'urf yang dikenal dalam
terminologi hukum bermakna budaya yang telah diterima oleh masyarakat luas
sebagai memiliki nilai kebaikan. Menolong, menghargai, bersikap adil, jujur,
bersahabat, adalah contoh-contoh makruf yang telah menjadi budaya universal
masyarakat beradab dan diterima sebagai nilai-nilai luhur kehidupan.
Menurut al-Jurjani, yang
disebut makruf adalah semua yang baik menurut syara'.[1]
Sesuatu yang baik menurut syara' disebut makruf karena jiwa akan merasa
tenteram padanya.[2]
Semua yang diperintahkan oleh agama, baik perintah tegas (wajib) maupun anjuran
(sunnah) membawa kebaikan pada pelaku dan lingkungannya. Pribadi norma1
jika melakukan suatu kebaikan akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan. Sebaliknya,
jika melakukan keburukan akan menimbulkan waswas, penyesalan, dan
ketidaktenangan dalam batin orang itu. Rasulullah pernah bersabda,
"Kebaikan itu adalah
berakhlak baik, sementara perbuatan dosa adalah apa saja yang menyebabkan
waswas di dalam batinmu dan engkau merasa khawatir jika diketahui orang lain.”[3]
Lawan kata dari makruf adalah
munkar, yaitu sesuatu yang diingkari atau tak dikenal baik dalam masyarakat.
Dalam kosakata bahasa Indonesia terdapat kata ingkar dan mungkar yang merupakan
serapan dari bahasa Arab. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-'Arab memberi
penjelasan tentang term ini:
……………………………………………………………………………………………………………[4]
"Kata
inkar dan munkar merupakan antonim dari makruf, yaitu semua yang dianggap
buruk, haram, dan tercela oleh syara".
Seperti
halnya istilah makruf, istilah munkar pun harus dikembalikan pada standar
agama. Sebuah perbuatan disebut munkar apabila menurut agama (syara') hal itu haram atau tercela. Dengan
demikian harus dapat dipastikan bahwa seseorang yang akan melakukan nahi munkar
harus benar-benar mengetahui dan mampu mengklasifikasi perbuatan mana yang
termasuk makruf dan yang mana tergolong munkar menurut informasi al-Qur'an dan
as-Sunnah. Orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang kategori makruf dan
munkar menurut kedua sumber itu maka tentu tidak berkewajiban melakukan amar
makruf nahi munkar.
Rangkaian aktivitas amar makruf dan nahi munkar mengandung dua
aktivitas berbeda. Yang pertama, amar makruf, yaitu ajakan atau perintah
melakukan kebaikan, baik yang berwujud sikap, ucapan, maupun perbuatan nyata.
Sedangkan yang kedua, nahi munkar, yaitu upaya pencegahan atau perubahan
terhadap kemungkaran. Kedua aktivitas ini harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, prioritas pertama adalah melakukan nahi munkar, karena
mencegah atau mengubah kemungkaran itu lebih utama daripada menganjurkan
kebaikan.
Di dalam masyarakat harus ada
kesadaran bersama untuk senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar.
Salah satu superioritas umat Islam sehingga disebut sebagai "khaira ummah"
adalah aktivitasnya beramar makruf dan nahi munkar yang didorong oleh
iman kepada Allah yang kuat, sebagaimana dapat dipahami dari feurah Ali 'Imran [3]: 110. Mengapa?
Karena, kalau tidak ada orang yang selalu mengingatkan beramar makruf nahi
munkar, maka boleh jadi yang makruf menjadi munkar, atau sebaliknya, yang
munkar menjadi makruf. Hal-hal yang makruf kalau terus ditinggalkan oleh
masyarakat sangat boleh jadi menjadi munkar sehingga tidak lagi dikenal sebagai
suatu kebaikan. Sikap tolong-menolong yang kental di masyarakat pedesaan
menjadi sesuatu yang 'tak dikenal' oleh masyarakat di kota besar yang lebih
individualistik. Atau, hal-hal munkar yang dilazimkan oleh masyarakat mungkin
akan berubah menjadi makruf. Sudah tidak diketahui sejak kapan dimulai
kebolehan mengambil buah-buahan yang jatuh dari pohon di kebun orang lain.
Meskipun diketahui buah itu milik orang yang punya kebun ketika jatuh dari
pohon boleh diambil oleh siapa saja (telah menjadi 'makruf). Ibn al-Muqaffa',
sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa:
…………………………………………………………………………………………………………….[5]
"Apabila makruf sudah
kurang diamalkan, maka ia menjadi munkar, danjika munkar telah menyebar maka ia
menjadi makruf. "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar