Senin, 08 April 2013

Fenomena di Masyarakat


Masalah harta rampasan perang mengisyaratkan adanya kebiasaan yang secara umum berlaku di antara komunitas manusia yang bertempur, yaitu pemenang perang berhak mengambil harta dari musuh yang dikalahkan. Kebiasaan demikian memang merupakan fenomena yang terjadi secara umum pada semua bangsa pada saat tersebut. Ketika dua kelompok tentara berhadapan, maka yang akan menang akan mengambil harta yang ditinggalkan musuhnya, baik ketika itu terjadi pertempuran antara keduanya maupun tidak. Dalam sejarah kemanusiaan, terekam adanya aturan yang tidak tertulis mengenai masalah ini. Sebagai akibatnya, setiap suku bangsa selalu merasa berkewajiban untuk memperkuat pertahanan dirinya dengan pasukan yang tangguh. Perasaan demikian muncul karena anggapan bahwa mereka berada dalam situasi perang terus-menerus dengan pihak lain. Penaklukan dan penyerangan terhadap pihak yang dinilai lemah sudah merupakan bagian dari kebiasaan dari berbagai bangsa dan kerajaan yang kuat. Pertempuran semacam ini akan diakhiri dengan perampasan harta milik musuh yang dikalahkan. Dengan demikian, ketika umat Islam berperang dengan mereka yang memusuhinya, maka kebiasaan ini juga dilakukan.
Ajaran Islam, walaupun tampak mengakomodir kebiasaan yang telah ada dan berlaku secara umum, namun juga memberikan tuntunan yang baru yang mengarah pada keadilan dan kemaslahatan yang lebih baik bagi umat manusia secara keseluruhan. Dalam kaitan dengan harta rampasan dari suatu pertempuran, ketetapan Islam mengatur bahwa yang berhak mendapatkannya bukan hanya mereka yang berhasil membunuh musuh, tetapi juga semua yang ikut dalam perang memunyai hak untuk mendapat bagian, walau mereka tidak membunuh musuhnya. Bahkan, mereka yang tidak ikut maju perang, tetapi memiliki peran dalam pertempuran juga memperoleh bagian. Hal yang sedemikian ini karena peran mereka juga dinilai penting, sehingga mereka dapat mengalahkan musuh.
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa Islam hanya membolehkan pengambilan harta musuh, atau orang kafir, adalah terbatas pada mereka yang diperangi saja. Sedang harta orang-orang kafir yang tidak memerangi atau memusuhi umat Islam tidak diperlakukan sebagai ghammah atau fay'. Karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan untuk mengambil atau merampasnya. Bahkan, dalam kaitan dengan masalah harta rampasan Rasulullah saw., pernah pula ditetapkan bahwa ghammah yang dapat dibagikan hanya yang berupa harta bergerak, sedang yang tidak bergerak, yaitu tanah tidak dibagikan. Harta semacam ini diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk digarap, sehingga tanah tersebut tidak menjadi lahan tidur saja, tetapi dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.  Kebijakan demikian diambil berdasarkan pada pertimbangan' bahwa ketika itu umat Islam sedang disibukkan dengan kegiatan untuk berdakwah dan mempertahankan diri dari rongrongan musuh. Selain itu, mereka juga kurang berpengalaman dalam menggarap lahan pertanian, sehingga ada kemungkinan mereka tidak dapat memaksimalkan lahan tersebut. Sebagai imbalannya, umat Islam menerima bagian dari hasil penggarapan tanah tersebut. Kebijakan Rasulullah saw. seperti ini ditetapkan pada Perang-Khaibar yang terjadi pada bulan Muharram tahun 7 H.[1]
Peristiwa semacam ini, tidak membagikan tanah musuh yang berhasil dikalahkan, juga terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab, yaitu ketika pasukan Islam berhasil menaklukkan Persia. Pada saat itu, para tentara menuntut agar tanah di daerah tersebut dibagikan kepada mereka yang ikut dalam perang tersebut. Tetapi, Umar menolak permintaan itu dengan alasan bahwa tanah tersebut pasti akan terbengkalai karena ditinggal pemiliknya pergi berperang ke daerah lain, sesuai dengan perintah yang diberikan Khalifah. Ketimbang tidak memberikan hasil, Khalifah lebih memilih untuk menyerahkannya kepada pemilik semula, yaitu orang Persia untuk diolah dan ditanami sebagaimana biasanya. Hasi! pertanian dari tanah tersebut kemudian dibagi dua, sebagian untuk penggarap yang mengolah lahan dan sebagian yang lain disetor ke kas negara. Sebagai kompensasi dari tidak diterimanya tanah sebagai harta rampasan, semua tentara yang berperang diberi gaji sesuai dengan peran atau posisinya oleh pemerintah.
Dalam Islam, perintah perang adalah dalam rangka mempertahankan diri, melindungi kaum lemah agar terbebas dari penindasan, atau untuk menghilangkan kekuatan yang berpotensi sebagai ancaman terhadap keberadaan Islam.[2] Oleh karena itu, perang yang ditujukan untuk meriguasai, membanggakan diri, memperbudak, menghina, atau menguasai hasil suatu negara adalah terlarang.[3] Dengan dasar ini, Rasulullah saw. selalu berpesan agar pasukannya tidak melakukan pembuhnan terhadap orang-orang tua, anak-anak, para perempuan, dan orang-orang yang sedang beribadah di gereja. Selain itu, mereka juga dilarang untuk menebang pohon yang sedang berbuah, membunuh binatang selain yang diperlukan untuk makan, menghar curkan bangunan, dan merampas harta penduduk yang tidak ikut berperang. Kebijakan demikian ditetapkan untuk menghindarkan terjadinya pembantaian, perampasan harta, atau pemusnahan yang memang dilarang.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa harta orang kafir dapat diambil hanya bila mereka memusuhi dan memerangi umat Islam. Sedang mereka yang tidak memerangi dan bersedia tunduk pada pemerintahan Islam diberi dua alternatif, yaitu masuk Islam dan harta mereka akan dijamin keamanannya, atau tetap dalam agama semula dengan membayar pajak keamanan, yang disebut jizyah. Pajak ini diambil sebagai bentuk partisipasi penduduk non-Muslim untuk membiayai pasukan yang menjaga keamanan mereka. Kewajiban demikian menjadi logis, karena keamanan jiwa dan harta benda mereka dijamin oleh pemerintahan Islam. Penjagaaan keamanan memerlukan dana untuk menggaji mereka yang melaksanakannya. Karena itu, yang menikmati keamanan sudah sewajarnya bila ikut menanggung dana tersebut. Hal seperti ini bukan berarti bahwa mereka dianaktirikan, ketika warga Muslim tidak diwajibkan membayar izyah. Pertimbangan ini didasarkan pada ajaran adanya kewajibai membayar zakat bagi yang Muslim, sedang bagi non-Muslim tidak ada keharusan tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya ketatapan tersebut merupakan kewajiban yang sesuai dengan asas keadilan.
Dalam kaitan dengan pemungutan jizyah, pemerintah Islam diwajibkan menjaga keamanan penduduk non-Muslim tersebut. Bila ternyata pasukan Islam tidak mampu menjaga keamanan penduduk yang tunduk pada pemerintahan Islam, maka jizyah ini wajib dikembalikan. Kasus demikian pernah terjadi pada penduduk Horns, suatu daerah di sekitar Syam (antara Palestina dan Suriah). Pada saat itu, mereka dikalahkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Panglima Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Penduduk daerah ini bersedia tunduk dengan tetap memeluk agama mereka semula. Karena itulah, mereka ditetapkan untuk membayar pajak keamanan atau jizyah. Tetapi, beberapa saat kemudian pasukan Islam mengalami kekalahan dalam peperangan melawan pasukan Romawi Timur. Akibatnya, Abu Ubaidah dan pasukannya terpaksa meninggalkan daerah tersebut. Sebelum pergi, beliau mengumpulkan penduduk dan mengembalikan jizyah yang telah dipungutnya. Ketika ditanya tentang pengembalian tersebut, Panglima itu rnenjawab bahwa pemungutan pajak dimaksudkan sebagai biaya keamanan Ketika ternyata keamanan penduduk tidak dapat dijamin lagi akibat kalah perang, maka pajak itu dikembalikan lagi.[4]


[1] Shafiyyu ar-Rahman at-Mubarakfuri, Sir oh an-Nabawiyah, terjemah oleh Rahmat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 559.
[2] Lihat Sayyid Sabiq, Anashir al-Quwwah flal-lslam, terjemah oleh Muhammad Abdai Rathomy, (Surabaya Toko Kitab Ahmad Nabhana, 1981), h. 272-274.
[3] Muhammad as-Syyid Ahmad al-Wakil, Hadza ad-Din baina Jahli Abna'ihi wa Kaidi A'da'ihi, terjemah oleh Burhan Jamaluddin, (Bandung: al-Ma'arif, 1988), h. 57.
                                                                     
[4] AAuhamad al-Sayyid Ahmad al-Wakil, Hadza al-Din baina Jahli Abnd'ihi wa Kaidi A'da'ihi, h. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar