Masalah harta rampasan perang
mengisyaratkan adanya kebiasaan yang secara umum berlaku di antara komunitas
manusia yang bertempur, yaitu pemenang perang berhak mengambil harta dari musuh
yang dikalahkan. Kebiasaan demikian memang merupakan fenomena yang terjadi
secara umum pada semua bangsa pada saat tersebut. Ketika dua kelompok tentara
berhadapan, maka yang akan menang akan mengambil harta yang ditinggalkan
musuhnya, baik ketika itu terjadi pertempuran antara keduanya maupun tidak.
Dalam sejarah kemanusiaan, terekam adanya aturan yang tidak tertulis mengenai
masalah ini. Sebagai akibatnya, setiap suku bangsa selalu merasa berkewajiban
untuk memperkuat pertahanan dirinya dengan pasukan yang tangguh. Perasaan
demikian muncul karena anggapan bahwa mereka berada dalam situasi perang
terus-menerus dengan pihak lain. Penaklukan dan penyerangan terhadap pihak yang
dinilai lemah sudah merupakan bagian dari kebiasaan dari berbagai bangsa dan
kerajaan yang kuat. Pertempuran semacam ini akan diakhiri dengan perampasan
harta milik musuh yang dikalahkan. Dengan demikian, ketika umat Islam berperang
dengan mereka yang memusuhinya, maka kebiasaan ini juga dilakukan.
Ajaran Islam, walaupun tampak mengakomodir kebiasaan yang telah ada dan
berlaku secara umum, namun juga memberikan tuntunan yang baru yang mengarah
pada keadilan dan kemaslahatan yang lebih baik bagi umat manusia secara
keseluruhan. Dalam kaitan dengan harta rampasan dari suatu pertempuran,
ketetapan Islam mengatur bahwa yang berhak mendapatkannya bukan hanya mereka yang
berhasil membunuh musuh, tetapi juga semua yang ikut dalam perang memunyai hak
untuk mendapat bagian, walau mereka tidak membunuh musuhnya. Bahkan, mereka
yang tidak ikut maju perang, tetapi memiliki peran dalam pertempuran juga
memperoleh bagian. Hal yang sedemikian ini karena peran mereka juga dinilai
penting, sehingga mereka dapat mengalahkan musuh.
Suatu hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa Islam hanya membolehkan pengambilan harta musuh, atau
orang kafir, adalah terbatas pada mereka yang diperangi saja. Sedang harta
orang-orang kafir yang tidak memerangi atau memusuhi umat Islam tidak
diperlakukan sebagai ghammah atau fay'. Karena itu, umat Islam tidak diperbolehkan untuk mengambil atau
merampasnya. Bahkan, dalam kaitan dengan masalah harta rampasan Rasulullah
saw., pernah pula ditetapkan bahwa ghammah yang dapat dibagikan hanya yang
berupa harta bergerak, sedang yang tidak bergerak, yaitu tanah tidak dibagikan.
Harta semacam ini diserahkan kembali kepada pemiliknya untuk digarap, sehingga
tanah tersebut tidak menjadi lahan tidur saja, tetapi dapat menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat. Kebijakan
demikian diambil berdasarkan pada pertimbangan' bahwa ketika itu umat Islam
sedang disibukkan dengan kegiatan untuk berdakwah dan mempertahankan diri dari
rongrongan musuh. Selain itu, mereka juga kurang berpengalaman dalam menggarap
lahan pertanian, sehingga ada kemungkinan mereka tidak dapat memaksimalkan
lahan tersebut. Sebagai imbalannya, umat Islam menerima bagian dari hasil
penggarapan tanah tersebut. Kebijakan Rasulullah saw. seperti ini ditetapkan
pada Perang-Khaibar yang terjadi pada bulan Muharram tahun 7 H.[1]
Peristiwa semacam ini, tidak
membagikan tanah musuh yang berhasil dikalahkan, juga terjadi pada masa
pemerintahan Umar bin Khaththab, yaitu ketika pasukan Islam berhasil
menaklukkan Persia. Pada saat itu, para tentara menuntut agar tanah di daerah
tersebut dibagikan kepada mereka yang ikut dalam perang tersebut. Tetapi, Umar
menolak permintaan itu dengan alasan bahwa tanah tersebut pasti akan
terbengkalai karena ditinggal pemiliknya pergi berperang ke daerah lain, sesuai
dengan perintah yang diberikan Khalifah. Ketimbang tidak memberikan hasil,
Khalifah lebih memilih untuk menyerahkannya kepada pemilik semula, yaitu orang
Persia untuk diolah dan ditanami sebagaimana biasanya. Hasi! pertanian dari
tanah tersebut kemudian dibagi dua, sebagian untuk penggarap yang mengolah
lahan dan sebagian yang lain disetor ke kas negara. Sebagai kompensasi dari
tidak diterimanya tanah sebagai harta rampasan, semua tentara yang berperang
diberi gaji sesuai dengan peran atau posisinya oleh pemerintah.
Dalam Islam, perintah perang
adalah dalam rangka mempertahankan diri, melindungi kaum lemah agar terbebas
dari penindasan, atau untuk menghilangkan kekuatan yang berpotensi sebagai
ancaman terhadap keberadaan Islam.[2] Oleh karena itu, perang yang
ditujukan untuk meriguasai, membanggakan diri, memperbudak, menghina, atau
menguasai hasil suatu negara adalah terlarang.[3] Dengan dasar ini, Rasulullah
saw. selalu berpesan agar pasukannya tidak melakukan pembuhnan terhadap
orang-orang tua, anak-anak, para perempuan, dan orang-orang yang sedang
beribadah di gereja. Selain itu, mereka juga dilarang untuk menebang pohon yang
sedang berbuah, membunuh binatang selain yang diperlukan untuk makan, menghar
curkan bangunan, dan merampas harta penduduk yang tidak ikut berperang.
Kebijakan demikian ditetapkan untuk menghindarkan terjadinya pembantaian,
perampasan harta, atau pemusnahan yang memang dilarang.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa harta orang kafir
dapat diambil hanya bila mereka memusuhi dan memerangi umat
Islam. Sedang mereka yang tidak memerangi dan bersedia tunduk
pada pemerintahan Islam diberi dua alternatif, yaitu masuk Islam dan harta mereka akan dijamin keamanannya, atau tetap dalam
agama semula dengan membayar pajak keamanan, yang disebut jizyah. Pajak ini diambil sebagai bentuk partisipasi penduduk non-Muslim untuk membiayai pasukan yang menjaga keamanan mereka.
Kewajiban demikian menjadi logis, karena keamanan jiwa dan harta
benda mereka dijamin oleh pemerintahan Islam. Penjagaaan
keamanan memerlukan dana untuk menggaji mereka yang
melaksanakannya. Karena itu, yang menikmati keamanan sudah
sewajarnya
bila
ikut
menanggung dana tersebut. Hal seperti ini bukan berarti bahwa mereka dianaktirikan, ketika warga Muslim
tidak diwajibkan membayar izyah. Pertimbangan ini didasarkan
pada ajaran adanya kewajibai membayar zakat bagi yang Muslim,
sedang bagi non-Muslim tidak ada keharusan tersebut. Dengan
demikian, sesungguhnya ketatapan tersebut merupakan kewajiban
yang sesuai dengan asas keadilan.
Dalam kaitan dengan pemungutan jizyah, pemerintah Islam diwajibkan menjaga keamanan penduduk non-Muslim tersebut. Bila ternyata pasukan Islam tidak mampu menjaga keamanan penduduk yang tunduk pada pemerintahan Islam, maka jizyah ini wajib dikembalikan. Kasus demikian pernah terjadi pada penduduk Horns, suatu daerah di sekitar Syam (antara Palestina dan Suriah). Pada saat itu, mereka dikalahkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Panglima Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Penduduk daerah ini bersedia tunduk dengan tetap memeluk agama mereka semula. Karena itulah, mereka ditetapkan untuk membayar pajak keamanan atau jizyah. Tetapi, beberapa saat kemudian pasukan Islam mengalami kekalahan dalam peperangan melawan pasukan Romawi Timur. Akibatnya, Abu Ubaidah dan pasukannya terpaksa meninggalkan daerah tersebut. Sebelum pergi, beliau mengumpulkan penduduk dan mengembalikan jizyah yang
telah
dipungutnya.
Ketika
ditanya
tentang
pengembalian tersebut,
Panglima
itu
rnenjawab
bahwa
pemungutan
pajak dimaksudkan sebagai biaya keamanan Ketika ternyata keamanan penduduk
tidak dapat dijamin lagi akibat kalah perang, maka pajak itu dikembalikan lagi.[4]
[1]
Shafiyyu
ar-Rahman at-Mubarakfuri, Sir oh an-Nabawiyah, terjemah oleh
Rahmat, (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 559.
[2] Lihat Sayyid
Sabiq, Anashir al-Quwwah flal-lslam, terjemah oleh
Muhammad Abdai Rathomy, (Surabaya Toko Kitab Ahmad Nabhana, 1981), h. 272-274.
[3]
Muhammad
as-Syyid Ahmad al-Wakil, Hadza ad-Din baina
Jahli Abna'ihi wa Kaidi A'da'ihi, terjemah oleh Burhan Jamaluddin,
(Bandung: al-Ma'arif, 1988), h. 57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar