Sebuah penggalan
sastra menggambarkan kebolehan berbohong dalam hal-hal tertentu, yang sesungguhnya
merupakan kiat atau strategi mencapai suatu hasil, tentu dengan syarat atau kriteria
tertentu.
“Boleh
berdusta (melakukan strategi) pada upaya perdamaian atau menghindari kezaliman,
kepada keluarga (pasangan suami atau istri) untuk sanjungan membahagiakan dan
pada situasi perang untuk menang.”[1]
Cakupan dari penggalan sastra
tersebut sejatinya merupakan turunan dari beberapa hadis yang berbicara tentang
pengecualian atau kebolehan berbohong karena ada sebab yang sangat mendesak dan
dibolehkan. Salah satu Hadis Rasulullah saw yang berkaitan dengan hal ini
adalah:
“Ummu
Kultsum berkata bahwa aku tidak pernah mendengar keringanan (rukhshah)
kebohongan kecuali dalam tiga hal. Rasulullah saw mengatakan bahwa aku tak
menganggap pendusta orang yang mengarang suatu ucapan tak lain hany aupaya
untuk mendamaikan dua orang yang berseteru, orang berucap sesuatu sebagai
strategi dalam peperangan dan sanjungan suami kepada istrinya dan istri kepada
suaminya.”[2]
Dari hadis ini
dapat dipahami ada tiga hal yang diperbolehkan berdusta dan orangnya tidak
dianggap sebagai pendusta. Pertama, berdusta untuk mendamaikan dua orang pihak
yang berseteru, misalnya menyatakan keinginan salah satu pihak ingin sekali
berdamai, dan itu dilakukan secara silang, meskipun sesungguhnya belum secara
jelas diungkapkan oleh yang bersangkutan, semata-mata sebuah upaya perdamaian (islah). Perdamaian
adalah sesuatu yang sangat mulia dan senantiasa diinginkan oleh al-Quran,
sebagaimana dipahami dari QS.al-Baqoroh [2]:228;an-Nisa [4]:35,114,128;al-Hujurat[49]:9-10.
Manusia harus selalu berupaya untuk mendamaikan orang-orang yang berseteru
dengan berbagai cara yang bisa dilakukan, bahkan kalu terpaksa dengan sedikit
bumbu-bumbu yang dapat meluluhkan hati orang berseteru. Bukan maksudnya untuk
berbohong atau membohongi orang, tetapi sekedar ucapan-ucapan bersayap yang
kadang-kadang dilebihkan dalam rangka menarik simp[ati untuk berdamai. Perilaku
orang beriman itu adalah memelihara perdamaian, apabila ia menjumpai ada dua
orang atau lebih berselisih dan berpotensi memunculkan pertengkaran atau
permusuhan, apalagi jika permusuhan itu telah terjadi, maka ia harus berupaya
mendamaikannya. Ayat ke-10 dari QS.al-Hujurat dengan jelas memerintahkan hal
tersebut.
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua
saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat.”
Kedua berdusta untuk memberikan
sanjungan pasangan (suami atau istri),misalnya memuji busana yang dikenakan,
ide-ide yang dilontarkan hasil maskannya, dan selainnya. Tidak ada maksud untuk
berbohong, tetapi sekedar menyenangkan hati dengan sanjungan yang
berbunga-bunga. Ketiga, berdusta dalam situasi perang. Peperangan yang dibenarkan dalam ajaran agama
mengharuskan strategi untuk menang. Strategi itu bersifat sangat rahasia bagi
lawan sehingga harus dikemas sedemikian rupa agar tidak bocor kepada pihak
musuh. Dalam kemasan kerahasiaan inilah kadangkala seseorang diharuskan
bersikap, berbicara atau bertingkah laku tidak sebagaimana adanya karena
menjaga sifat kerahasiaan tadi.
Bohong dalam Situasi Perang
Sudah menjadi
kesepakatan umum bahwa perang,apapun bentuknya, memerlukan suatu strategi untuk
memenangkannya. Namun,perang yang dimaksud di sini adalah perang di jalan
Allah, bukan perang para preman yang mempertahankan wilayah kekuasaan, atau
perang yang lain semisal perang harga para produsen untuk saling menjatuhkan,
dan sebagainya. Karena, perang model itu terlarang dalam agama, apalagi
berbohong dalam hal yang memang sudah terlarang. Oleh karena itu kebohongan
yang di bolehkan adalah strategi dalam rangka memenagkan perang di jalan Allah
melawan orang kafir yang memusuhi Islam.
Melakukan strategi, berbohong, atau
tipu daya, dalam suasana perang dalam rangka memenangkan peperangan tampaknya
memang diperlukan. Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari menjelaskan
tentang peperangan itu sebagai tipu daya.
“Dinukil
dari Amr,ia mendengar Jabir ibn Abdillah ra berkata bahwa Nabi saw pernah
bersabda : ‘perang itu adalah tipu daya’.”[3]
Sebuah peperangan tanpa strategi
tentu dengan mudah digunakan oleh lawan untuk menghancurkan, namun tidak
serta-merta berarti harus dilakukan dengan segala cara yang tak beretika. Etika
perang sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan umum atau konvensi-konvensi
tentang hal itu tetap harus dikedepankan. Sebagian besar ulama sepakat atas
tipu daya terhadap orang kafir yang menjadi musuh dalam peperangan. Meskipun
ada sebagian lain, seperti ath-Thabari, tetap tidak membolehkan tipu daya atau
kebohongan dalam situasi apapun, kecuali yang sifatnya kiasan atau sindiran
halus atau bahasa-bahasa yang mengambang untuk tidak mengatakan sesuatu perihal
perang secara jelas (vulgar,eksplisit). Lebih jelasnya, Abu al-‘Ala mengutip
perkataan ath-Thabari sebagai berikut:
“Kebohongan
yang dibolehkan dalam perang hanyalah yang bersifat kiasan(bahasa ambang).
Bukan kebohongan dalam arti sebenarnya,karena hal itu selamanya tidak
dibolehkan.”[4]
Perlu ditegaskan bahwa kebolehan
untuk berdusta (baca:mengembangkan strategi yang dirahasiakan ) ataupun
mengungkapkan dengan bahasa-bahsa yang mengambang hanya berlaku pada saat
perang,upaya islah, dan sanjungan kepada pasangan suami istri sebagaimana telah
dijelaskan di atas. Artinya, di luar suasana itu kebohongan merupakan suatu
perbuatan dosa. Hal ini penting untuk dikemukakan, karena ada sebagian
masyarakat kita yang membolehkan untuk menipu, membohongi, atau mencurangi
orang lain yang tidak seiman dengannya dengan menyandarkan pada hadits yang
disebutkan di atas. Padahal, dalam hadis tersebut sangat jelas disebut kata
al-harb (dalam situasi perang). Di luar itu, Kebohongan, tipu daya dan
sejenisnya tidak layak dilakukan sebagai
penganut agama yang senantiasa mempresentasikan kedamaian. Orang Muslim adalah
orang yang senantiasa lingkungannya merasa damai atas kehadirannya karena
ucapan ataupun perbuatannya.
[1] Lihat Muhammad
Anwar Syah al-Kasymiri,al-‘Arf Asy-Syadziy,Syarh Sunan at-Turmudzi,Juz III,
h.234.
[2] Risayat Turmudzi
dan selainnya. Lihat Sunan at-Turmudzi, juz VII, h.186.
[3] Riwayat Bukhari.
Lihat Shahih al-Bukhari,juz 10, h.229;lihat juga Shahih Muslim, juz IX, h. 166
(dari riwayat Abu Hurairah).
[4] Lihat Abu al-‘Ala
Muhammad ibn Abdirrahman.Tuhfah al-ahwadz Jami at-Turmudzi, Muhaqqiq: Abd
Al-Wahhab ibn Abd Al-Lathif, (Ma Maktabah al-Salafiyah),Juz V,h.320
Tidak ada komentar:
Posting Komentar