Selasa, 21 Mei 2013

Hikmah Larangan Ekstremitas dalam Agama





Ghuluw (ekstremitas) menurut bahasa berarti melebihi batas. Adapun menurut istilah syariat, ekstremitas adalah melewati batas yang diperintahkan syariat. Seorang ekstremis merasa apa yang diperintahkan syariat terlalu sedikit dan tidak cukup. Maka ia menambahinya lagi atas inisiatifnya sendiri dan dia meyakini bahwa hal ini merupakan sesuatu yang dianjurkan syariat. Ini juga merupakan pengertian tasyaddud, tanaththu’ dan tatharruf (berlebihan).
Tentang hikmah diharamkannya sikap ekstrem, Syaikh Yusuf Qardhawi telah memaparkannya dalam bukunya berjudul Ash-Shahwah Al-Islamiyah (hlm. 29 dan seterusnya). Kami menyebutkannya secara ringkas seperti berikut ini:
1. Sikap ekstrem cenderung dijauhi manusia, tidak disukai tabiat manusia secara umum. Jika sebagian kecil manusia mampu “bersabar” dalam ekstremitas, mayoritas manusia tidak sabar atasnya. Padalah syariat-syariat diturunkan untuk semua manusia, bukan untuk kelompok tertentu. Karena itu, Nabi Saw pernah marah kepada sahabat agung Mu’adz bin Jabal Ra ketika berlama-lama dalam mengimami shalat manusia hingga sebagian mereka mengadukannya kepada beliau. Beliau bersabda kepadanya, “Apakah kamu orang yang suka memberi cobaan wahai Mu’adz?” Beliau mengulangi sabdanya ini hingga tiga kali.[1]
Dalam kesempatan lain, beliau marah besar karena ulah seorang imam. Beliau bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِيْنَ، فَأَيُّكُمْ مَا صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيْهِمْ الْمَرِيْضَ وَالْكَبِيْرَ وَالضَّعِيْفَ وَذَا الْحَاجَةِ.
“Wahai manusia, sesungguhnya di antara kalian terdapat orang-orang yang menakut-nakuti. Karena itu, jika salah seorang di antara kalian menjadi imam shalat, hendaklah memperingan shalatnya karena di antara mereka terdapat orang sakit, orang tua, orang lemah dan orang yang memiliki hajat.”[2]
Oleh karena itu, ketika Nabi Saw mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman, beliau menasihati mereka berdua,
 “Mudahkanlah dan jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan menakut-nakuti, tolong-menolonglah dan jangan berselisih.”[3]
Umar bin Khathab Ra berkata, “Janganlah kalian membuat Allah dibenci hamba-hambaNya. Salah seorang di antara kalian menjadi imam shalat dan memperpanjang shalatnya atas makmum hingga membuat mereka benci atas apa yang mereka alami.”
2. Ekstremitas cenderung berumur pendek dan menurut kebiasaan tidak mudah terus melakukannya. Manusia memiliki sifat bosan dan kemampuannya terbatas. Jika seseorang menetapi sikap yang keras dan mempersulit, maka tenaga jiwa dan badannya akan terkuras. Ia akan bosan dan meninggalkan sikapnya, bahkan mungkin memilih jalan lain yang berkebalikan dari yang telah dia tempuh. Maksudnya, berpindah dari sikap yang ekstra keras menuju sikap yang ekstra lunak. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah kita saksikan.
Oleh karena itulah, Rasulullah Saw bersabda,
 “Orang yang terlalu menguras tenaganya, tidak mampu mencapai tujuan dan tidak menyisakan tenaga badan.”[4]
Dari sini, Nabi Saw memberikan pengarahan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيْقُوْنَ، فَإِنَّ اللهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوْا، وَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دُوْوِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ.
“Wahai manusia, hendaklah kalian melakukan amal sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya Allah tidak bosan hingga kalian bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah amal yang dilakukan secara kontinyu meskipun sedikit.”[5]
Ada seorang perempuan pembantu Nabi Saw  yang melakukan puasa pada waktu siang dan shalat pada waktu malam. Apa yang dilakukannya ini disampaikan sebagian orang kepada beliau. Maka beliau bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً " أي حدة و نشاطاً " وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً "أي استرخاءاً وفتوراً" فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِى فَقَدْ اهْتَدَى وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ ضَلَّ
“Sesungguhnya setiap amal ada waktu semangatnya dan setiap waktu semangat ada waktu kendornya. Maka barangsiapa yang pada waktu kendornya menuju kepada Sunnahku, dia mendapat petunjuk dan barangsiapa  yang pada waktu kendonya menuju selain itu, maka dia tersesat.”[6]
Rasulullah Saw bersabda,
 “Sesungguhnya agama itu mudah dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya kecuali agama mengalahkannya. Maka berkatalah yang baik, berusahalah dekat dengan kebaikan, bergembiralah dan pergunakanlah waktu pagi, waktu sore dan sebagian waktu malam.”[7]
Syaikh Munawi mengatakan di dalam syarahnya, “Maksudnya, tidak ada seorang pun terlalu memaksakan diri dalam beribadah dan meninggalkan sifat belas kasih, kecuali dia akan menjadi lemah, lalu kalah. Berpeganglah pada kebenaran tanpa sikap yang ekstrem. Jika kamu tidak mampu mengambil yang sempurna, maka berusahalah dekat dengannya. Bergembiralah dengan amal yang berkelanjutan meskipun sedikit.”
3. Ekstremitas mengakibatkan zalim terhadap hak-hak lain yang wajib dijaga dan kewajiban-kewajiban yang wajib dilaksanakan. Ahli hikmah mengatakan, “Aku tidak melihat sikap yang melebihi batas kecuali ada hak yang terabaikan di sisinya.”
Ketika Rasulullah Saw mendengar ibadah Abdullah bin Umar yang berlebihan sehingga melalaikan hak keluarganya, beliau bersabda, “Benarkah kamu senantiasa puasa siang dan shalat malam?” Abdullah bin Umar menjawab, “Betul, wahai Rasul.” Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu lakukan. Puasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah. Sesungguhnya jasadmu punya hak, matamu punya hak, istrimu punya hak, dan tamumu punya hak.”[8]
Demikian juga sahabat agung, Salman Al-Farisi Ra berkata kepada saudaranya yang ahli ibadah dan mengambil jalan zuhud, yakni Abu Darda` Ra. Rasulullah Saw telah mempersaudarakan mereka berduanya sehingga saling mencintai. Salman mengunjungi Abu Darda`. Salman melihat Ummu Darda` berpenampilan remeh. Salman bertanya kepadanya, “Kenapa kamu bersikap seperti itu?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu Darda` tidak butuh dunia.” Lalu Abu Darda` datang dan menyuguhkan makanan. Salman berkata, “Makanlah.” Abu Darda` berkata, “Aku sedng berpuasa.” Salman berkata, “Aku tidak akan makan hingga kamu makan.” Abu Dada` pun makan.
Ketika waktu telah malam, Abu Darda` bangun. Salman berkata, “Tidurlah.” Kemudian Abu Darda bangun lagi untuk shalat. Salman berkata, “Tidurlah.” Ketika waktu akhir malam, Salman berkata, “Sekarang bangunlah.” Mereka berdua melakukan shalat. Lalu Salman berkata, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, badanmu memiliki hak terhadapmu, dan keluargamu memiliki hak terhadapmu. Berikanlah setiap hak kepada pemiliknya.”
Abu Darda` kemudian mendatangi Nabai Saw dan menceritakan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda, “Salman benar.”[9]



[1] HR. Bukhari, nomor 673 dari Jabi bin Abdillah Al-Anshari Ra.
[2] HR. Bukhari, nomor 5759 dan Muslim, nomor 466 dari Abu Mas’ud Al-Anshari Ra.
[3] HR. Bukhari, nomor 2873 dan Muslim, nomor 1733 dari Said bin Abi Bardah dari ayahnya dari kakeknya.
[4] HR. Baihaqi, 3/18, nomor 4520 dari Jabir bin Abdillah Ra. Haitsami mengatakan dalam Majma’ az-Zawa`id, “Hadis ini diriwayatkan Bazzar. Di dalam sanadnya ada Yahya bin Mutawakil Abu Uqail. Dia seorang pendusta.”
[5] HR. Bukhari, nomor 5523 dan Muslim, nomor 215.
[6] Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ az-Zawa`id (nomor 3560) dan mengatakan, “Hadis ini diriwayatkan Bazzar dengan para perawi shahih.”
[7] HR. Bukhari, nomor 39 dari Abu Hurairah Ra.
[8] HR. Bukhari, nomor 1874 dan Muslim, nomor 1159 dari Abdullah bin Amr bin Ash Ra.
[9] HR. Bukhari, nomor 1867 dari Juhaifah Ra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar