Jumat, 03 Mei 2013

Janganlah Mencari-cari Kesalahan Orang Lain!


Bab ini menjelaskan mengenai larangan tajassus (mencari-cari kesalahan). Kedua penulis menguraikan definisi tajassus sebagaimana pengertian yang dijelaskan Al-Alusi, yaitu mencari-cari sesuatu yang tersembunyi dari seseorang. Tentu saja sesuatu yang tersembunyi itu adalah aib atau kesalahan. Al-Quran dengan sangat jelas menerangkan larangan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) ini melalui firman-Nya, “...dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain....” (QS. Al-Hujurat [49]: 12). Rasulullah Saw juga bersabda, “Wahai orang-orang yang sudah beriman dengan lisannya, tetapi belum beriman sampai ke dalam lubuk hati, janganlah kamu menyakiti kaum muslimin, janganlah kamu mempermalukan mereka, dan janganlah mencari-cari kesalahan mereka. Barang siapa mencari-cari kesalahan saudaranya yang muslim maka Allah akan membukakan kesalahannya dan barang siapa yang telah dibukakan kesalahannya oleh Allah maka ia tidak akan bisa menutup-nutupinya meski bersembunyi sampai ke lubang di tempat yang jauh.”

Kemungkaran merupakan sesuatu yang haram, tetapi mencari-cari kemungkaran juga diharamkan. Karena itu, seseorang tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain yang mungkin disembunyikan. Artinya, kemungkaran yang masih dalam tahap sangkaan itu tidak boleh dicari-cari karena masih mengandung dua kemungkinan; benar atau tidak. Diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Umar bin Khaththab dan berkata, “Wahai Umar, si fulan sepertinya suka minum khamar (minuman keras) secara diam-diam.” Umar lalu berkata, “Tunggulah sampai waktu ia biasa selesai meminum khamar.” Laki-laki itu lalu mendatangi Umar ketika si fulan selesai meminum khamar dan mengajak Umar mendatangi rumah si fulan. Ketika tahu Umar akan memasuki rumahnya, si fulan pun segera menyembunyikan khamarnya. Laki-laki itu dan Umar lalu memasuki rumah si fulan. Umar kemudian berkata, “Sungguh, aku mencium bau khamar.” Si fulan menjawab, “Wahai Ibnu Khaththab, bagaimana kamu ini, bukankah Allah telah melarangmu untuk mencari-cari kesalahan orang lain?” Umar pun mengakui hal itu, lalu pergi meninggalkan rumah si fulan. (hal. 57)

Kedua penulis lalu mengutip perkataan beberapa ulama mengenai tajassus. Al-Ghazali berkata, “Syarat bagi orang yang hendak menegakkan nahi mungkar adalah bahwa kemungkaran itu sudah jelas di depan mata tanpa harus dicari-dicari. Adapun jika ada seseorang menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya dan ia menutup pintu rumahnya itu rapat-rapat maka orang yang hendak menegakkan nahi mungkar tidak diperkenankan memata-matai rumahnya tersebut.” Al-Qurthubi mengatakan, “Bertindaklah atas kemungkaran yang sudah jelas terlihat dan janganlah memata-matai kesalahan orang lain. Dengan kata lain, seseorang tidak selayaknya mencari-cari aib orang lain sampai aib itu benar-benar tampak jelas setelah dibuka oleh Allah Swt.”

Untuk menutup bab ini, penulis mengungkapkan bahwa setiap pelaku amar makruf nahi mungkar tidak boleh terlalu bersemangat dalam mencari-cari kemungkaran, tidak boleh pula memata-matai kegiatan orang lain di rumahnya, sebagaimana tidak diperkenankan menanyakan pada dua orang, satu laki-laki dan satu lagi perempuan, yang tengah berjalan, “Siapa perempuan yang bersamamu ini, apa hubungannya denganmu?” Hal-hal semacam ini harus betul-betul dihindari.

Imam Al-Ghazali juga menyebutkan beberapa contoh tajassus yang tidak diperbolehkan. Di antaranya mencuri dengar di rumah tetangga, mendekati mulut seseorang untuk mengetahui apakah ada bau khamar ataukah tidak, memegang pakaian seseorang untuk mencari jejak-jejak tindakan mencurigakan tertentu, atau meminta seseorang memata-matai tetangganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar